Currently Empty: $0.00
Penulis: Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Rektor Universitas Darussalam, Gontor
Pada periode awal pembangunan negara ini telah terjadi perdebatan sengit antara Dr. Sutomo dengan S.T.Alisyahbana tentang arah pembangunan negara Republik Indonesia. Bagi yang pertama negara ini hanya dapat dibangun berdasarkan khazanah budaya bangsa ini, sedang bagi yang kedua negara ini dapat maju hanya dengan meniru sepenuhnya budaya Barat. Yang pertama membanggakan pendidikan pesantren yang kedua mengagungkan pendidikan sekuler ala Barat, dengan argumentasi masing-masing. Meskipun argumentasi Dr.Sutomo cukup kuat dan rasional, namun pemikiran S.T.Alisyahbana sejatinya mewakili arus pemikiran para pengambil kebijakan kependidikan saat itu. Yang menarik di sini bukan argumentasi mereka masing-masing, tapi implikasi bahwa usaha meletakkan pendidikan pesantren sebagai rival pendidikan sekuler Barat memang telah lama wujud.
Memang pondok atau pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang selalu berhadapan secara vis a vis dengan pendidikan sekuler yang dibawa oleh penjajah. Bukan hanya itu, keberadaannya sejak awal telah menunjukkan anti-penjajah dan mendukung kemerdekaan negara Republik Indonesia. Tak pelak lagi ia kemudian sangat dicurigai penjajah. Anehnya setelah negara Indonesia merdeka, pesantren juga dicurigai anti pemerintah dan menjadi sarang “komando jihad”. Kini pesantren kembali dicurigai sebagai sarang teroris. Apa sebenarnya substansi pendidikan Pesantren? dan bagaimanakah ia memainkan peranannya dalam lintasan sejarah bangsa ini?
Subtansi Pesantren
Hakikatnya pendidikan pesantren tidak lepas dari Islam, dan pendidikan pesantren bermula tidak lama setelah Islam masuk ke Indonesia. Alasannya sangat sederhana. Islam, sebagai agama dakwah, disebarkan secara efektif melalui proses transmisi ilmu dari ulama ke masyarakat (tarbiyah wa ta’lim, atau ta’dib). Proses ini di Indonesia berlangsung melalui pesantren. Hal ini dapat dibuktikan di antaranya dari metode pembelajaran di pesantren. Metode sam’ (audit, menyimak), metode syarh (penjelasan ulama) dengan secara halaqah, metode tahfiz (hafalan) dll, yang terdapat terdapat di pesantren berasal dari tradisi intelektual Islam.
Hanya saja istilah yang digunakan untuk sistim ini tidak sepenuhnya merujuk kepada kata bahasa Arab. Sebutan untuk pelajar yang mencari ilmu bukan murid seperti dalam tradisi sufi, atau thalib atau tilmidh seperti dalam bahasa Arab, tapi santri yang berasal dari bahasa sanskrit (san= orang baik; tra= suka menolong). Lembaga tempat belajar itupun kemudian mengikuti akar kata santri dan menjadi pe-santri-an atau “pesantren”. Di Sumatera pesantren di sebut rangkang atau meunasah atau surau. Ini menunjukkan pendekatan dakwah para ulama yang permisif terhadap tradisi lokal. Di Malaysia dan Thailand lembaga ini dikenal dengan nama pondok, merujuk kepada bahasa Arab funduk yang berarti hotel atau penginapan yang maksudnya asrama. Jadi meskipun istilah “pesantren” tidak memiliki akar kata dari tradisi Islam, tapi substansi pendidikannya tetap Islam.
Keberadaan kiai atau ulama sebagai tokoh otoritatif, peserta didik, asrama dan sarana pendidikan, pendidikan agama Islam dan masjid sebagai pusat kegiatan kependidikan adalah unsur-unsur penting pendidikan pesantren yang sejatinya adalah juga unsur pendidikan Islam. Keempat unsur yang melingkupi santri ini dapat dianggap sebagai catur-pusat pendidikan. Ini lebih lengkap dibanding tri-pusat pendidikan (sekolah, masyarakat, keluarga), yang terdapat pada sistem sekolah pada pendidikan umum.
Karakter pendidikan pesantren adalah menyeluruh. Artinya seluruh potensi pikir dan zikir, rasa dan karsa, jiwa dan raga dikembangkan melalui berbagai media pendidikan yang terbentuk dalam suatu komunitas yang sengaja didesain secara integral untuk tujuan pendidikan. Di dalam sistem sekolah pusat-pusat pendidikannya terpisah-pisah dan hampir tidak saling berhubungan. Di dalam kelas atau di masjid para santri diajar ilmu pengetahuan kognitif, dan di luar itu ia memperoleh bimbingan serta menyaksikan suri tauladan dari kiai atau gurunya serta kawan-kawannya. Jadi kehidupan di dalam pondok sudah merupakan pelajaran penting bagi santri seperti yang diajarkan oleh Islam itu sendiri. Doktrin tentang keimanan dalam teks, dilengkapi dengan pelajaran etika, ilmu, kemasyarakatan, pendidikan, dan lain-lain diluar kelas. Pengertian kurikulum bagi pendidikan pesantren tidak terbatas pada pelajaran atau kitab-kitab yang dipakai, tapi keseluruhan kegiatan di dalam asrama atau pondok.
Dengan demikian tujuan pendidikan pesantren seperti halnya tujuan kehidupan manusia didunia ini adalah ibadah, yang spektrumnya seluas pengertian ibadah itu sendiri. Dengan catur-pusat pendidikan pesantren berfungsi sebagai “melting pot”, yaitu tempat untuk mengolah potensi-potensi dalam diri santri agar dapat berproses menjadi manusia seutuhnya (insan kamil). Santri tidak hanya disipakan untuk mengejar kehidupan dunia tapi juga mempersiapkan kehidupan akhirat. Tidak hanya untuk menjadi manusia berguna bagi masyarakatnya, tapi untuk menjadi manusia seutuhnya yang taat kepada Tuhannya. Pengolahan potensi diri ini didukung oleh bangunan spiritual, sistem nilai dan jiwa kedisiplinan yang kuat yang dapat klasifikasikan sedikitnya menjadi lima, yaitu Keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwwah Islamiyah, kemandirian dan kebebasan.
Peran pesantren
Seperti disinggung di atas wujud pesantren hampir bersamaan dengan datangnya umat Islam dinegeri ini. Karenanya peran pesantren dalam membangun negeri ini sebernarnya sama dengan peran Islam itu sendiri. Peran Islam dalam membangunkan dunia Melayu sudah terbukti secara historis. Dalam teori Prof. Naquib al-Attas tentang Islamisasi masyarakat Melayu, Islam datang dengan membawa pandangan hidup baru yang ditandai oleh munculnya semangat rasionalisme dan intelektualisme. Pandangan hidup baru ini kemudian merubah pandangan hidup bangsa Melayu-Indonesia yang sebelumnya dikuasai oleh dunia mitologi yang rapuh. (lihat al-Attas, Preliminary Statement on A general theory of the Malay-indonesian archipelago, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1969).
Menurut Snouck Hurgronje, agama Hindu tidak mempunyai peran dalam pembinaan spiritual masyarakat awam yang kebanyakan dari kasta rendah. Di Sumatera, yang pernah dikenal sebagai pusat berkumpulnya para pemikir Hindu, misalnya, pandangan hidup Hindu hampir tidak berpengaruh terhadap masyarakat waktu itu. Oleh karena itu pada masa kekuasaan kerajaan Hindu banyak anggota masyarakat yang tertarik pada pandangan hidup Islam.
Namun, pandangan hidup Islam tidak serta merta dipahami masyarakat dengan hanya membaca syahadat. Ia memerlukan proses transformasi konsep-konsep ke dalam pikiran masyarakat; dan pemahaman suatu konsep hanya effektif dilakukan melalui proses belajar mengajar. Pesantren dalam hal ini berperan aktif dalam transformasi konsep-konsep penting dalam Islam ke tengah-tengah masyarakat waktu itu. Peran Islam dalam merubah pandangan hidup yang statis kepada yang dinamis, rasional dan teratur inilah yang disebut dengan proses Islamisasi, kebalikan dari “akulturalisasi” (penyesuaian agama dengan kultur setempat).
Jadi Islam masuk ke Indonesia dan disebarkan melalui pendidikan pesantren dalam bentuk pandangan hidup, dan bukan sebagai gerakan politik seperti yang diasumsikan Prof. Sartono Kartodirdjo. Terbukti raja-raja di Jawa dan luar Jawa masuk Islam tanpa proses peperangan. Sebagai pandangan hidup Islam membawa konsep baru tentang Tuhan Yang Maha Esa, tentang manusia, tentang hidup, waktu, dunia dan akherat, bermasyarakat, keadilan, harta dan lain-lain.
Dengan pandangan hidup Islam masyarakat lalu mengembangkan semangat pembebasan dan perlawanan terhadap penjajah. Pemberontakan petani di Banten tahun 1888, atau perang masyarakat Aceh melawan Belanda tahun 1873, misalnya, tidak lepas dari peran kaum santri dan pesantren. Jadi Islam tidak dapat dipahami hanya sebagai gerakan politik, tapi sebagai suatu pandangan hidup yang memberi warna baru terhadap gerakan politik.
Peran pandangan hidup Islam terhadap bangkitnya bangsa Melayu dapat dilihat dari fenomena tersebarnya kultur Islam dan tersebarnya penggunaan bahasa Melayu sebagai alat untuk mengekspresikan karya sastra dan berbagai diskursus pemikiran kegamaan dan filsafat. Dengan merasuknya pandangan hidup Islam kedalam kultur Melayu, maka bahasa Melayu menjadi sangat kaya dengan kosa kata dan terminologi Islam. Ini juga sekaligus merupakan jembatan menuju lahirnya bahasa Melayu sebagai lingua franca.
Selain itu dengan gerakan hijrah ke pelosok-pelosok pedesaan, pesantren mengembangkan masyarakat Muslim yang solid, yang pada gilirannya berperan sebagai kubu pertahanan rakyat dalam melawan penjajah. Peran para kiai dalam melawan penjajah tidak perlu dipertanyakan lagi. Raffles sendiri dalam bukunya The History of Java mengakui bahaya para kiai terhadap kepentingan Belanda. Sebab, menurutnya, banyak sekali kiai yang aktif dalam berbagai pemberontakan.
Bahkan besarnya pengaruh kiai tidak hanya terbatas pada masyarakat awam, tapi juga menjangkau istana-istana. Kiai Hasan Besari, dari pesantren Tegalsari Ponorogo, misalnya berperan besar dalam meleraikan pemberontakan di Keraton Kartasura. Bukan hanya itu, pesantren dulu juga mampu melahirkan pujangga. Raden Ngabehi Ronggowarsito adalah santri Kiai Hasan Besari yang berhasil menjadi Pujangga Jawa terkenal.
Di zaman pergerakan pra-kemerdekaan, peran pesantren juga sangat menonjol, lagi-lagi melalui alumninya. HOS Cokroaminoto pendiri gerakan Syarikat Islam dan guru pertama Soekarno di Surabaya, adalah juga alumni pesantren. KH. Mas Mansur, KH.Hasyim Ash’ari, KH. Ahmad Dahlan, Ki Bagus Hadikusumo, KH.Kahar Muzakkir, (untuk menyebut beberapa nama) adalah alumni pesantren yang menjadi tokoh masyarakat yang sangat berpengaruh. Di tengah masyarakat mereka adalah guru bangsa, tempat merujuk segala persoalan di masyarakat. Di tengah percaturan politik menjelang kemerdekaan Republik Indonesia peran mereka tidak diragukan lagi.
Ketika Jepang memobilisir tentara PETA (Pembela Tanah Air) guna melawan Belanda, para kiai dan santri mendirikan tentara Hizbullah. Di balik itu dalam pikiran mereka adalah kosep jihad melawan kezaliman, konsep ukhuwwah untuk membela sesama saudara seagama dan konsep kebebasan yang menolak segala bentuk penindasan. Itu semua tidak lepas dari pengaruh pandangan hidup Islam.
Sesudah kemerdekaan, alumni-alumni pesantren terus memainkan perannya dalam mengisi kemerdekaan. Moh. Rasyidi, alumni pondok Jamsaren adalah Menteri Agama RI pertama, Mohammad Natsir alumni pesantren Persis, menjadi Perdana Menteri, KH.Wahid Hasyim, alumni pondok Tebuireng, KH.Kahar Muzakkir dan lain-lain menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan; KH.Muslih Purwokerto dan KH. Imam Zarkasyi alumni Jamsaren menjadi anggota Dewan Perancang Nasional; KH. Idham Khalid menjadi wakil Perdana Menteri dan ketua MPRS. Singkatnya, di awal-awal kemerdekaan RI para kiai dan alumni pesantren berpatisipasi hampir di setiap lini perjuangan bangsa. Perlu dicatat bahwa jabatan-jabatan itu bukan diraih untuk tujuan politik sesaat, tapi untuk sarana membela dan memperjuangkan agama, negara dan bangsa.
Di era Orde Baru di tengah maraknya pembangunan fisik yang disertai dengan proses marginalisasi peran politik ummat Islam, kiai dan pesantren tetap memiliki perannya dalam membangun bangsa. Dampak pembangunan fisik yang tidak berangkat konsep character building adalah dekadensi moral, korupsi, tindak kekerasan dan lain-lain. Akibatnya pendidikan, khususnya sistem sekolah di kota-kota besar tidak lagi menjanjikan kesalehan moral dan sosial anak didik. Dalam kondisi seperti inilah pesantren muncul menjadi sebagai alternatif penting. Dengan jiwa ukhuwwah Islamiyah di pesantren tidak pernah terjadi “tawuran”; dan karena jiwa kemandirian di pesantren tidak sedikit dari santri drop out justru sukses sebagai pengusaha.
Ketika terjadi upaya convergensi ilmu pengetahuan agama dan umum di pesantren, medan distribusi alumni pesantren menjadi semakin luas. Penyeberangan santri ke perguruan tinggi umum menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Para santri ini kemudian mengembangkan kajian-kajian agama secara informal dan intensif yang melibatkan mahasiswa-mahasiswa yang tidak memilik background agama. Kini peran pesantren tidak lagi langsung dimainkan oleh alumninya, tapi oleh murid-murid alumninya. Pergerakan mahasiswa seperti HMI, PMII, IMM yang marak pada dekade 70-an dan 80-an, dan juga gerakan LDK, usrah-usrah dan intensifikasi aktifitas masjid kampus dan lain-lain tidak dapat dipisahkan dari peran dan kontribusi alumni-alumni pesantren.
Kini di zaman reformasi telah muncul sejumlah nama tokoh yang tidak lepas dari peran pendidikan pesantren, baik langsung maupun tidak langsung. Amien Rais, ketua MPR, Abdurrahman Wahid, pendiri PKB, Hidayat Nur Wahid, Presiden PKS, Hasyim Muzadi, Ketua PB NU, Nurcholis Madjid, Rektor Paramadina, adalah beberapa nama tokoh yang tidak lepas dari dunia pesantren. Hal ini tidak saja menunjukkan kualitas pendidikan pesantren dalam mencetak pemimpin dan tokoh-tokoh bangsa tapi membuktikan besarnya kepedulian santri terhadap problematika bangsa ini.
Jika kini beberapa gelintir alumni pesantren dituduh terlibat dalam berbagai aksi yang dianggap ‘terror’, maka sangat absurd jika kemudian peran dan potensi pesantren dalam membangun bangsa ini, baik di masa lalu maupu di masa depan, dinafikan. Semestinya kini tidak perlu lagi mempertanyakan apa peran dan fungsi pesantren dalam membangun negara ini, yang justru perlu dipertanyakan adalah apa yang telah dilakukan pemerintah dalam membangun pesantren dan apa yang belum. Hasil kalkulasi inilah hutang bangsa ini pada pesantren.